Surabaya || Metrosurya.net – Ellen Sulistyo (Tergugat I) dinyatakan telah terbukti “sah” melakukan perbuatan wanprestasi. Pernyataan itu disampaikan advokat Yafeti Waruwu, S.H., M.H., usai jalani persidangan dalam agenda kesimpulan pada gugatan wanprestasi pengelolaan restoran Sangria by Pianoza. Selasa (23/4/2024) diruang sidang Garuda 1 Pengadilan Negeri Surabaya.
“Telah kami tuangkan dalam kesimpulan fakta – fakta persidangan baik dari saksi Penggugat, baik dari saksi Tergugat I, saksi dari Tergugat II dan juga dari semua bukti – bukti yang ada dipersidangan dan juga ahli. Dapat kami simpulkan bahwa yakin dengan keyakinan 100% bahwa benar – benar Tergugat I dalam hal ini Ellen Sulistyo melakukan wanprestasi dengan dasar sebagaimana perjanjian di Akta Nomor 12 tanggal 27 Juli 2022,” ujar Yafeti.
Yafeti menerangkan beberapa point pasal kriteria yang telah disepakati bersama tetapi tidak dilaksanakan prestasi tersebut oleh Tergugat I, Ellen Sulistyo.
“Kewajiban Ellen Sulistyo pembagian hasil 50% dari keuntungan untuk pemilik modal dalam hal ini, CV.Kraton Resto. Keuntungan 50% ini sama sekali belum pernah dibagi, belum diberikan kepada CV.Kraton Resto. Yang telah diberikan hanyalah keuntungan minimal Rp.60 juta/bulan yang di peruntukan biaya bunga operasional atas pembangunan fisik gedung resto, Tapi itupun tidak dibayar penuh sesuai kesepakatan, selain dalam prakteknya dicicil – cicil. Mulai bulan Maret, April, Mei dan seterusnya tidak dibayarkan, Didalam persidangan tidak bisa mereka membantah temuan itu,” ujar Yafeti.
“Yang kedua mengenai wanprestasi terhadap biaya operasional, seperti listrik terbukti mereka tidak membayar untuk bulan April, Mei dan selanjutnya. PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang sudah diterbitkan oleh KPKNL. Dan KPKNL telah bersurat kepada Kodam dan Kodam telah memberi tahu kepada kita dan kita juga memberi tahu Tergugat I mengenai PNBP untuk periode kedua, akan tetapi tidak dihiraukan oleh tergugat I sebenarnya itu terbukti,” terang Yafeti.
“Selanjutnya adalah mengenai pajak restoran PB1 yang 10% dari nilai. Kalau objeknya adalah Rp Rp.2,865 milyar sekian maka 10% nya sekitar Rp.286,5 juta. Kita lihat dari fakta – fakta persidangan bukti – bukti yang ada, tidak ada bukti – bukti dari Tergugat I membayar, dan itu tidak disertakan di bukti persidangan, artinya tidak ada pembayaran itu,” tegas Yafeti.
Yafeti juga menyoal service charge yang dikhususkan untuk hak – hak daripada karyawan yang melayani restoran adalah 5%.
“Kalau dari objek 5% kurang lebih Rp.143 juta, dan itu terungkap dalam fakta persidangan belum pernah dibagikan kepada karyawan, nah artinya dari semua ini Tergugat I benar – benar melakukan wanprestasi.” ujar Yafeti.
Yafeti mengutarakan yang lebih fatal lagi bahwa dari semua saksi Ellen Sulistyo, seolah telah di brifing, seolah “koor” menyatakan bahwa restoran tersebut sepi, tetapi ada pengakuan dari saksi Ellen Sulistyo sendiri, dimana rata – rata pemasukan perhari kurang lebih Rp.6 juta hingga Rp.15 juta, jadi perbulan kurang lebih Rp.450 juta dengan total kurang lebih Rp.3 milyar, ini belum termasuk pendapatan dari acara ulang tahun yang belum dilaporkan, acara seminar dll, yang belum dilaporkan, anehnya Ellen Sulistyo masih mengaku rugi.
“Padahal dari saksi – saksi kita merekap semua hasil nota kasir bisa dikatakan bahwa tidak mungkjn rugi, artinya ada indikasi perlakuan Ellen Sulistyo atau Tergugat I ini yang membuat pengelolaan restoran tersebut rugi, tentunya dengan tujuan agar pemodal, dalam hal ini CV.Kraton Resto atau Tergugat II tidak mendapatkan keuntungan dari hasil pengelolaannya. Ini fakta yang bisa disimpulkan dari hasil temuan dalam persidangan,” kata Yafeti.
“Sebagaimana ahli, baik dari ahli Tergugat I atau Ellen Sulistyo menyatakan bahwa apabila sudah ada kesepakatan antara pihak sebagaimana dalam pasal 1320 KUHP oleh salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban kepada pihak yang telah memberi kesepakatan itu, maka dikatakan wanprestasi. Begitu juga ahli daripada Tergugat II menyatakan bahwa apabila dalam suatu kesepakatan sesuai pasal 1320 apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya kepada pihak yang telah bersepakat, maka dia dikatakan wanprestasi, artinya bahwa terbukti daripada Tergugat I benar – benar melakukan suatu tindakan wanprestasi,” lanjut Yafeti.
“Dari kesimpulan kami, karena dia terbukti melakukan wanprestasi didalam jawabannya dia mengajukan rekonvensi, maka kami minta supaya rekonvensi dari Tergugat I supaya ditolak. Artinya bahwa rekonvensi yang dia berikan tidak terpenuhi unsur daripada perbuatan hukum dia mengajukan rekonvensi tersebut,” ujar Yafeti.
“Bagaimana mungkin seorang yang sudah melakukan wanprestasi dengan sengaja tidak memenuhi apa yang diperjanjikan dalam perjanjian notarial, membawa hasil usaha senilai Rp.3 milyar lebih melakukan dugaan penggelapan dan penggelembungan biaya, diduga menggelapkan pajak PB1 10% dan service charge 5%, masih berani melakukan rekonvensi ?. Logika darimana ini?,” ujar Yafeti.
Dalam kesempatan ini Yafeti menerangkan isi kesimpulan meminta agar Turut Tergugat I (KPKNL Surabaya) menerima pembayaran PNBP sebesar Rp.450 Juta/3 tahun, agar negara tidak dirugikan.
“Karena sudah ada persetujuan itu, tinggal membayarnya, dan CV.Kraton Resto siap membayarnya. Untuk Turut Tergugat II dalam hal ini Kodam, kami meminta kepada majelis yang mulia untuk memerintahkan Kodam membuka kembali restoran Sangria tersebut untuk dapat dipergunakan CV.Kraton Resto,” ujar Yafeti.
“Kesepakatan Kerjasama nomor: 5/IX/2017 yang merupakan dasar dari kerjasama ini bisa dinyatakan sah demi hukum dan juga perjanjian sewa pemanfaatan aset, rumah makan, SPK 05/11/2017 diantara kedua perjanjian ini adalah saling mengikat. Ahli Dr.Krisnadi Nasution, sebagai Lektor kepala fakultas hukum UNTAG yang merupakan ahli dalam hukum perikatan, menyatakan bahwa itu masih berlaku, karena tidak ada pembatalan surat turunan surat itu yaitu SPK hingga ada suatu keterkaitan yang saling terkait didalam pelaksanaan perjanjian,” pungkas Yafeti.
Perlu diketahui, persidangan yang berlangsung Selasa kemarin, pihak Penggugat (Fifie), Tergugat I (Ellen Sulistyo), dan Tergugat II (Effendi), masing – masing telah menyerahkan kesimpulan ke majelis hakim.
Sedangkan Turut Tergugat I (KPKNL Surabaya) yang tidak hadir diperintahkan hakim untuk hadir dipersidangan berikutnya dan menyerahkan kesimpulan, dan Turut Tergugat II (Kodam V/Brawijaya) yang saat ini belum siap menyerahkan kesimpulan diberi kesempatan oleh hakim untuk menyerahkan pada sidang berikutnya.
“Sidang ditunda pada hari Selasa 30 April 2024, dan para pihak harus hadir dalam persidangan,” ujar ketua majelis hakim bernama Sudar sambil mengetuk palu tanda sidang ditutup.
Awak media yang mengikuti jalannya persidangan hingga saat ini memasuki agenda kesimpulan, banyak fakta – fakta terungkap dan terbuka melalui bukti – bukti, para saksi fakta dan para ahli yang dihadirkan para pihak.
Fifie (Penggugat) dan Effendi (Tergugat II), masing – masing kedudukannya sebagai direktur dan komisaris CV.Kraton Resto. Pada tahun 2017, dengan surat kuasa atas nama dan mewakili direktur, Tergugat II menjalin kerjasama dengan Kodam V/Brawijaya dalam hal pemanfaatan aset tanah TNI AD dhi. Kodam V/Brawijaya.
Penandatanganan kesepakatan kerjasama dilanjutkan dengan dengan perjanjian sewa atau SPK Nomor: SPK/05/XI/2017. Untuk menentukan besaran PNBP untuk 5 tahun periode I, Kelanjutan dari itu, CV.Kraton Resto membangun gedung megah dijalan Dr. Soetomo No.130, Surabaya, yang diklaim menghabiskan anggaran Rp.10.6 milyar lebih yang difungsikan sebagai restoran bernama the Pianoza.
Didalam isi kesepakatan kerjasama dan SPK tercantum jangka waktu 30 tahun dibagi dalam 6 periode, dan 1 periode berjangka waktu 5 tahun. Dan periode pertama tahun 2017 hingga 2022 Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah dibayar CV.Kraton Resto ke Kementerian Keuangan melalui Kodam V/Brawijaya.
Dalam perjalanan restoran the Pianoza beroperasi, pada tahun 2022, perempuan bernama Ellen Sulistyo (Tergugat I) mencari dan berusaha bertemu dengan Tergugat II untuk menawarkan kerjasama pengelolaan restoran.
Ellen Sulistyo dengan bujuk rayu akhirnya bisa meyakinkan Tergugat II memberikan kesempatan baginya untuk mengelola restoran. Hal itu diungkapkan Tergugat II ke awak media beberapa waktu lalu.
Saat itu Ellen Sulistyo (Tergugat I) memberikan draf perjanjian awal pada Tergugat II yang di teruskan pada Notaris Ferry Gunawan. Dan Notaris Ferry merevisi draf tersebut agar tidak bertentangan dengan perjanjian CV.Kraton Resto dengan Kodam V/Brawijaya karena itu adalah dasar perolehan hak pengelolaan atas aset Barang Milik Negara (BMN) di jalan Dr.sutomo 130 Surabaya. Draf diberikan ke para pihak untuk dipelajari dan untuk memberikan masukan, setelah itu dijadikan akta sesuai dengan masukan para pihak. Pengakuan Tergugat II diatas sama dengan kesaksian dari Notaris Ferry Gunawan dipersidangan.
Penandatangan akta kerjasama pengelolaan terjadi pada tanggal 27 Juli 2022. Saat itu Tergugat I melakukan negosiasi ulang kesepakatan dihadapan Notaris Ferry Gunawan. Atas permintaan (negosiasi) Tergugat I, Tergugat II ingin membatalkan perjanjian karena dianggap Tergugat I tidak bisa memegang kata – katanya dari awal dengan menegosiasi ulang kesepakatan yang sudah di setujui sebelumnya.
Namun tergugat I memohon agar perjanjian tetap dilanjutkan, atas kebijaksanaan Tergugat II akhirnya disepakati dan dilakukan renvoi di minuta notarial.
Dalam isi perjanjian, nama restoran berubah menjadi Sangria by Pianoza, dan tercantum kewajiban – kewajiban Ellen Sulistyo selaku pengelola. Kewajiban itu antara lain adalah membayar PNBP, PBB, profit sharing minimal Rp.60 juta/ bulan, dan listrik. Diperjalanan pengelolaan Ellen Sulistyo atau Tergugat I tidak menepati perjanjian itu.
Yang fatal dilakukan Ellen Sulistyo adalah tidak membayar PNBP, sehingga Kodam V/Brawijaya menutup atau menyegel gedung restoran sehingga tidak dapat beroperasi lagi.
Penutupan oleh Kodam dipandang Penggugat dan Tergugat II cukup “aneh”, karena walaupun pengelola tidak membayar PNBP, dan dengan tujuan menjaga nama baik dan hubungan baik, CV.Kraton Resto menjaminkan emas dengan nilai sekira Rp.625 juta ke Aslog Kodam V/Brawijaya pada 11 Mei 2023, hal itu atas permintaan Aslog Kolonel CZI Srihartono, namun walaupun menyerahkan jaminan emas, bangunan restoran tetap ditutup oleh Kodam V/Brawijaya sehari sesudahnya.
Dalam kesaksian para saksi yang dihadirkan baik oleh Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II, ada beberapa kesamaan keterangan, antara lain Ellen Sulistyo selama mengelola restoran tidak membayar PNBP, sharing profit Rp.60 juta/bulan hanya dibayarkan beberapa kali, uang omset masuk di rekening Ellen Sulistyo di Bank Mandiri sebesar kurang lebih Rp.3 milyar, terdapat gaji direksi sebesar Rp.30 juta/bulan selama 3 bulan yang diambil Ellen Sulistyo (padahal gaji direksi tidak ada dalam perjanjian pengelolaan).
Didalam kesaksian dari saksi fakta Penggugat selain disebut diatas, terbuka fakta bahwa laporan keuangan tidak pernah dibuat oleh Ellen Sulistyo selama 7 bulan mengelola, adanya tagihan pembayaran yang tidak dibayarkan, antara lain PBB, tagihan listrik, dan pajak makanan minuman daerah PB1 10%, serta service charge 5% yang merupakan hak karyawan pun “diembat” dan tidak pernah dibagikan Ellen Sulistyo dengan alasan rugi, namun beberapa orang kepercayaannya mendapatkan “Bonus”, ini keanehan yang sulit dipahami dengan logika.
Terungkap fakta – fakta didalam persidangan bahwa ada pos biaya “siluman” seperti biaya entertaiment, dan kompliment yang nilainya ratusan juta dan sebagian besar diakui dipakai untuk keluarga Ellen Sulistyo, dan semua pengeluaran itu dimasukan sebagai pengurangan omset restoran.
Ahli yang dihadirkan baik oleh Tergugat I dan II, didalam pandangan yang berbeda, namun ada kesamaan dalam memahami perbuatan wanprestasi, yakni jika tidak menepati isi perjanjian itu perbuatan wanprestasi. (dex)